Friday, August 31, 2012

Ya Allah, Kenalkan Aku dengan Diriku


"Di antara ciri-ciri kebahagian dan kemenangan seorang hamba adalah:
  1. Bila ilmu pengetahuannya bertambah, bertambah pula kerendahan hati dan kasih sayangnya. 
  2. Setiap bertambah amal-amal shalih yang dilakukan, bertambah pula rasa takut dan kehati-hatiannya dalam menjalankann perintah Allah. 
  3. Semakin bertambah usianya, semakin berkuranglah ambisi-ambisi keduniaannya.
  4. Ketika bertambah hartanya, bertambah pula kedermawanannya dan pemberiannya kepada sesama.
  5. Jika bertambah tinggi kemampuan dan kedudukannya, bertambahlah kedekatanya pada manusia dan semakin rendah hati kepada mereka.
Sebaliknya, ciri-ciri kecelakaan adalah:
  1. Ketika bertambah ilmu pengetahuannya, semakin bertambah kesombongannya.
  2. Setiap bertambah amalnya, kian bertambah kebanggaannya pada diri sendiri dan penghinaannya pada orang lain.
  3. Semakin bertambah kemampuan dan kedudukannya, semakin bertambah pula kesombongannya."
(Al Fawa-id, Imam Ibnul Qayyim).
 
Saudaraku,

Suasana apakah yang terekam dalam jiwa kita saat membaca kalimat-kalimat tersebut? Adakah kita berada dalam daftar orang-orang yang berbahagia dan menang? Atau, celaka? Semoga Allah SWT membimbing hati dan langkah kita untuk tetap memiliki ciri-ciri (karakter) orang-orang yang berbahagia dan menang. Semoga Allah Swt. menjauhkan hati dan langkah kita dari ciri-ciri orang-orang yang terpedaya oleh ilmu, amal dan kemampuannya. Amiin.

Saudaraku,

Salah satu pesan yang bisa kita petik dari petua Ibnul Qayyim rahimahullah itu adalah, kedalaman ilmunya tentang lintasan dan perasaan-perasaan jiwa. Ibnul Qayyim rahimahullah yang banyak berguru pada Imam Ibnu Taimiyyah itu, berhasil mengenali karakter jiwa kemanusiaannya, sampai ia pun kemudian banyak mengeluarkan nasihat-nasihat yang maknanya sangat dalam dan menyentuh tentang jiwa.

Saudaraku,

Mengenali diri memang penting. Rasulullah SAW juga mengajarkan kita untuk lebih banyak bercermin dan mengevaluasi dri sendiri, berbanding bercermin dan mengevaluasi orang lain. Orang yang sibuk oleh aib dan kekurangannya, kata Rasulullah lebih beruntung, berbanding orang yang sibuk memperhatikan kekurangan orang lain.


Dan memang, manfaat menjalani nasihat Rasulullah SAW ini adalah seperti dikatakan Ibnul Qayyim, 
“Barangsiapa yang mengenal dirinya, ia akan sibuk memperbaiki diri daripada sibuk mencari-cari aib dan kesalahan orang lain.”

Saudaraku,



Genggam erat-erat tali keimanan kita,
 
Kenalilah diri. Pahami kebiasaannya. Rasakan setiap getaran-getarannya. Lalu berhati-hati dan kontrollah kemauan dan kecenderungannya. Waspadai kekurangannya dan manfaatkan kelebihannya. Berdoálah pada Allah agar Ia menyingkapkan ilmu-Nya tentang diri. Sebagaimana senandung doá yang dilantunkan Yusuf bin Asbath, murid Sofyan Ats Tsauri: 
"Ällahumma arrifni nafsii”, Ya Allah kenalkan aku dengan diriku…

Jiwa manusia banyak menyimpan rahsia. Misteri hati dan jiwa manusia sulit dikenali dengan baik kecuali dengan bantuan Allah SWT kepada kita. Kerana itu ulama terkenal yang ahli dalam masalah kejiwaan, Sahal bin Abdillah mengatakan bahwa,
"Mengenali diri sendiri itu lebih sulit dan lebih halus daripada mengenali musuh." 
Artinya, aib dan kekurangan yang terselubung dalam diri, sangat sulit dikesan, dan harus dibuka oleh Allah agar seseorang dapat membersihkan diri dan jiwanya.



Jika seseorang telah berhasil mengenal dan mengetahui bagaimana keadaan jiwanya, maka ia akan mudah mengontrol dan mengawasi keinginan-keinginan buruknya. Inilah yang dikatakan ulama Makkah bernama Wuhaib bin Ward,
“Sesungguhnya di antara kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku tentang keburukan jiwaku. Cukuplah seorang mukmin memelihara dirinya dari keburukan bila ia mengetahui keburukan jiwanya kemudian ia meluruskannya.”
Sebagaimana juga perkataan Hasal Al Bashri, 
“Seorang hamba masih dalam keadaan baik selama ia menyadari dan mengetahui sesuatu yang merusak amal-amalnya. (Az Zuhd, Imam Ahmad)

Saudaraku,

Semoga Allah mempererat genggaman tangan kita dijalan-Nya. Itulah pentingnya mengenali diri. Sampai-sampai Umar bin Abdul Aziz yang digelar sebagai khulafa rasyidin kelima itu mengatakan, 
“Aku mempunyai akal yang aku takut Allah akan mengazabku kerananya.”(Riyadun Nufus, 1/355). 
Umar bin Abdul Aziz banyak merenungi dirinya dan sangat mengenal dirinya, sehingga muncullah perkatan luar biasa itu.

Bahkan, kerana pengenalan diri yang dalam itu, Fudhail bin Iyadh radhiallahu anhu mengatakan, 
“la ya’rifur riya ila mukhlish,” riya tak mungkin di sadari, kecuali orang yang ikhlas. 


Ya, orang yang merasakan manisnya keikhlasan, pasti akan mengetahui pahitnya riya. Sebaliknya, orang yang tidak pernah merasakan nikmatnya ikhlas, tak mungkin bisa mengenali pahitnya riya. Begitulah. Manisnya ikhlas dan pahitnya riya, hanya dirasakan oleh orang-orang yang terbiasa dan mengenali getaran jiwa.

Saudaraku,

Apa yang dikatakan Fudhail itu tadi pun bertolak kerana keadaan dirinya yang sangat mengenal karakter jiwanya sendiri. Orang yang tidak mengenal dirinya, bahkan mengingkari keburukan dirinya adalah orang yang tidak akan mampu mengetahui apalagi mempengaruhi jiwa orang lain. Apalagi meluruskan kebengkokannya, ia tidak akan mampu. Inilah kandungan yang disebutkan oleh Al Kailani ketika ia mengatakan, 
“Bila engkau mampu meluruskan kekurangan yang ada pada dirimu, berarti engkau mampu meluruskan yang ada pada selain dirimu.”
Ia melanjutkan,
“Kemampuanmu menghilangkan kemungkaran tergantung dengan kekuatan imanmu memerangi kemungkaran dalam dirimu. Kelemahanmu tinggal diam di dalam rumah dari merubah kemungkaran adalah karena kelemahan imanmu dalam memerangi kemungkaran yang ada dalam dirimu. Kekokohan dan kekuatan imanlah yang mengokohkan para ulama saat mereka berhadapan dengan pasukan syaitan baik manusia dan jin.”(Al-Fathur Rabani, 30)


“Allahumma arrifnii nafsii…” Ya Allah, kenalkan aku pada diriku…


Penghargaan:
  1.  Majalah Tarbawi
  2. Onwer of the pictures. (Sorry la, sedut dari google. Tak reti nak edit gambar. :'( ) 

Thursday, August 30, 2012

Bertahan di Puncak itu Lebih Sulit



Saudaraku,

Ternyata hanya mengetahui suatu kemaksiatan dan mengetahui bahayanya, tidak otomatis menjadikan orang menjauhi maksiat dan meninggalkan kemaksiatan itu. Lihatlah betapa banyak yang berilmu melakukan kemaksiatan lebih besar daripada orang yang tidak berilmu. Berapa banyak orang yang mengetahui bahaya kemaksiatan itu, terjerumus dilumpur kemaksiatan yang sama.

Saudaraku,

Merubah diri dari lalai menjadi taat memang tidak mudah. Mengangkat kaki dari suatu kekeliruan yang sudah lama dilakukan, lalu memindahkannya ke atas jalan yang benar dan baik, itu sulit. Justeru masalah inilah yang pertama kali harus kita sedari dalam-dalam. Seperti dikatakan Imam Ibnul Jauzi, 

“Jangan sekali-kali engkau menganggap jalan (merubah diri menjadi lebih baik) itu mudah”.


Jalan itu dipenuhi oleh sesuatu yang kita benci, banyak halangan, penuh duri-duri tajam yang bisa membuat kita sakit. Hanya saja ketika kita sudah berhasil melewatinya, kita pasti akan melupakan seluruh rasa sakit, seluruh keletihan itu. Jika telah melewatinya, kita akan merasakan kelezatan yang tak terbandingkan oleh kelezatan manapun dari kelezatan duniawi yang pernah kita rasakan.



Saudaraku,

Mari kita dengarkan indahnya uraian nasihat imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaidul Khatir tentang tahapan perjalanan yang harus kita lakukan untuk menjadi lebih baik.

Menurut Ibnul Jauzi, yang harus kita lakukan pertama adalah memperbanyak diam untuk melatih jiwa agar tidak banyak mengeluarkan komentar dan tidak mudah bergolak, sehingga lisan kita juga lebih banyak diam.

Sesungguhnya lisan akan cenderung diam, jika jiwa tidak bergejolak. Dalam diam itu engkau akan lebih bisa meraba keburukan. Jika engkau sudah bisa merabanya, maka jiwa akan luluh dan hancur, lalu menyadari bahwa dirimu berada di jalan yang berlawanan dari kehendak Allah. Setelah itu, ingatkanlah jiwa dengan kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan, satu persatu. Kenalilah apa akibat setiap kekeliruan itu, sampai benar-benar disadari.

Lupakan ketaatan kita saudaraku,

“Jika engkau menyadari diri telah lalai dan melakukan dosa, jadikan dirimu bisa berlama-lama mengingat dosa itu, dan besar-besarkan ingatan akan akibat dari kelalaian itu, dan besar-besarkan ingatan tentang akibat dari kelalaian itu. Munculkanlah anggapan seolah kita tidak melakukan ketaatan apa-apa kecuali kemaksiatan itu. Lupakanlah ketaatan yang pernah engkau lakukan. Sampai engkau akan hancur bila tidak segera bertaubat. Sampai suara hati kita berteriak dan menangis”

“Tetapi, jika jiwamu tidak bangkit, dan air mata tidak mengucur juga, sampaikanlah kepada hati dan jiwa bahwa engkau tetap harus melepas diri dari kemaksiatan itu. Dan langkah ini takkan terjadi kecuali jika engkau tinggalkan semua sebab kemaksiatan, meninggalkan semua orang, semua teman, semua benda yang menjadi sebab dan tangga maksiat. Beritakanlah pada jiwa, bahwa engkau tidak akan bisa bertaubat dengan sah kecuali dengan meninggalkan semua itu.”

Langkah berikutnya,

Lemahkanlah jiwa dengan rasa lapar. Ibnul Jauzi mengatakan,

“Jika jiwamu masih belum bisa melakukan itu dan menolaknya, maka hancurkanlah kekerasan jiwa itu dengan memperbanyak puasa, hinakanlah ia dengan rasa lapar. Karena sesungguhnya jiwa jika mengalami sakit karena lapar, ia akan tunduk, mau mendengar dan cenderung pasrah untuk menerima apa saja.”
 
Perangi sikap menunda-nunda. Ini nasihat Ibnul Jauzi selanjutnya. Bahwa tekad meninggakan kemaksiatan itu sangat rentan dengan gangguan menunda-nunda, dengan seribu satu alasan. 

“Jika engkau mendapati jiwa ingin menunda-nunda untuk kembali, dan membayangkan waktu panjang atau pendek, bawalah ia secara paksa untuk mengingat tak ada ajal yang bisa diperkirakan. Bahwa mungkin saja ajal itu datang kepada jiwa sebelum ia menunaikan keinginannya kembali. Lalu ulangi lagi katakan pada jiwamu tentang hukuman dan kengerian.”

Saudaraku,

Jiwa yang sudah dikosongkan dari kemaksiatan harus segera diisi dengan kebalikan apa yang telah ditinggalkan. Imam Ibnul Jauzi menganjurkan kita untuk mencari teman untuk jiwamu yang bisa memberi petunjuk, daripada teman yang bisa melupakan. Katanya,

“Ajarkan dia berdzikir untuk mengganti kelalaian dan kelupaan. Paksa dia untuk teliti dan berfikir daripada ceroboh dan terburu-buru. Beri dia kelezatan bermunajat kepada Allah swt, nikmatnya membaca kitab-Nya serta mempelajari ilmu pengetahuan. Kenali dia dengan sirah orang-orang yang shalih dan bagaimana akhlak mereka. Lakukan itu untuk mengisi kekosongan karena ia telah meninggalkan suasana kebatilan, lingkungan orang-orang yeng merusak.”

Saudaraku,

Jika ini bisa kita lakukan, kelak cahaya ketaatan pengganti kelalaian itu akan terus merasuki jiwa dan semakin bersinar-sinar mengusir kegelapan hawa nafsu. Kita akan menjadikan ketaatan sebagai tabiat dan hal yang biasa. Sebagaimana juga,dahulu, kemaksiatan itu telah menjadi tabiat dan hal yang biasa bagi jiwa kita.

Saudaraku,
 
Tapi jangan anggap ini adalah akhir dari jalan perubahan kita. Karena,seperti juga di nasihatkan oleh Ibnul Jauzi,
"Sesungguhnya mencapai puncak itu sulit, tapi bertahan tetap di puncak itu lebih sulit.”
Dan kita akan tetap bertahan untuk berada disini bersama2. Menarik dan mengangkat diri kita bersama2 hingga keadaan semakin tinggi. Lalu saling berpegangan tangan saat di hempas ujian dan fitnah,agar tidak jatuh.
Credit to: Majalah Tarbawi